Filipina Bangun Aliansi Keamanan Dengan AS
RM.id Rakyat Merdeka – Filipina membangun kembali aliansi keamanan dengan Amerika Serikat (AS). Langkah ini diambil setelah China tidak memberikan kepastian dalam menyelesaikan sengketa wilayah di Laut China Selatan (LCS).
Profesor International Studies Department di De La Salle University, Renato Cruz De Castro, mengatakan, bahwa mayoritas masyarakat Filipina memberi dukungan penuh pada Pemerintah dalam menangani persengketaan klaim maritim dengan China di Laut China Selatan.
“Pemerintah Presiden Ferdinand Marcos Jr dalam menahan ekspansi China di perairan Laut China Selatan menggandeng AS sebagai rekan,” ujar De Castro, Senin (19/2/1024)
De Castro mengisi diskusi berjudul “What’s Going On with the Philippines, the United States, and China?” yang digelar secara virtual oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Senin (19/2/2024).
Dalam paparannya, De Castro mengatakan, Presiden Marcos tetap melanjutkan kerja sama ekonomi dengan China. Namun, Filipina kembali membangun kerja sama keamanan dengan AS untuk membantu mempertahankan wilayah perairan Filipina di LCS.
Usai dilantik pada 2022, langkah pertama Presiden Marcos adalah melanjutkan hubungan ekonomi dengan China, serta memperkuat kembali aliansi dengan Amerika Serikat di sektor keamanan.
“Marcos Jr melakukan pendekatan ke AS karena China tidak memberi kepastian keamanan di kedaulatan Filipina di perairan LCS,” kata De Castro.
Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina diketahui berupaya menjalin hubungan lebih dekat dengan Beijing. Namun De Castro menilai, Duterte baru menyadari kebijakannya keliru pada akhir masa jabatannya. Sebab, meski memiliki hubungan hangat, hal itu tak memperlunak China dalam mempertahankan klaimnya di LCS. Pada Februari 2020, Duterte membatalkan Visiting Forces Agreement dengan AS. Namun, terjadi insiden antara fregat Filipina dan korvet China di LCS.
“Presiden Marcos memetik pelajaran dari tindakan Duterte. Bahwa memenuhi tuntutan China tidak akan berhasil. Jadi pendekatannya, tentu saja, adalah kebijakan yang seimbang, melibatkan China dalam hubungan ekonomi, dan menjaga aliansi erat dengan AS,” sambungnya.
Presiden Marcos Jr pertama kali bertemu Presiden China Xi Jinping di Bangkok, Thailand, pada November 2022. Saat itu, Presiden Xi menyampaikan bahwa persengketaan klaim di LCS seharusnya tidak mempengaruhi hubungan antara Beijing dan Manila. Hal itu pun kembali disampaikanya ketika Marcos Jr berkunjung ke Beijing.
Namun De Castro menilai, komentar Xi hanya retorika belaka. Sebab di lapangan, kapal angkatan laut China dan Filipina masih sering terlibat cekcok.
Hal itu membuat pemerintahan Marcos Jr merapat ke Washington.
“Masalahnya di sini bukanlah Filipina yang membuat pilihan. China yang mendorong Filipina jadi kembali mesra dengan AS,” kata De Castro.
Dia mengungkapkan, pada November tahun lalu, Filipina dan AS menggagas kerja sama maritim, termasuk patroli gabungan antara angkatan laut kedua negara.
Direktur Southeast Asia Program and Asia Maritime Transparency Initiative di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Washington DC, Greg Poling, menambahkan, sejak dekade 1990-an, AS konsisten dalam isu LCS. Dia menyebut Washington memiliki dua kepentingan nasional dalam persengketaan klaim di LCS.
“Yang pertama, yaitu mempertahankan kebebasan laut. Artinya aturan atau hukum yang mengatur ruang maritim sesuai aturan internasional,” jelasnya.
Atas alasan ini pula yang menjadi alasan negara-negara di Eropa memberi perhatian pada isu LCS. Itu sebabnya, Filipina memperoleh dukungan lebih dari 20 negara pada tahun ini yang mendesak China untuk mematuhi putusan arbitrase 2006. Saat itu, Filipina memenangkan putusan arbitrase internasional menganulir klaim kedaulatan China atas sebagian besar wilayah LCS. Namun, putusan itu ditolak China.
Kedua, isu LCS adalah komitmen aliansi. Poling mengatakan, AS mendukung Filipina sebagai sekutunya. Negara Paman Sam itu mempunyai kewajiban hukum dan moral terhadap Filipina berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 Perjanjian Pertahanan Bersama (Mutual Defense Treaty).
“Hal ini menjadikan hubungan AS-Filipina unik, di antara seluruh hubungan AS di Asia Tenggara,” ucapnya.
Menanggapi pendapat dua narasumber sebelumnya, Direktur South China Sea Strategic Situation Probing Initiative (SCSPI) Hu Bo mengatakan, sah-sah saja kalau China mengusir kapal-kapal non China yang berlalu lalang di LCS tanpa izin Beijing.
“Karena secara historis dan empiris, LCS sebagian besar adalah kedaulatan China,” belanya.
Dia tidak masalah dengan AS yang memperluas keberadaan pasukannya di Filipina demi menjaga kebebasan bernavigasi, dan komitmen keamanan di kawasan perairan internasional.
“Selama tidak menyentuh area teritori China, tidak masalah,” tegasnya.
China diketahui mengklaim sebagian besar LCS sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut. Seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Malaysia. Wilayah Laut Natuna Utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim China di LCS.https://asiafyas.com/